Pro Kontra Kuliah Online
Demokratisasi Pendidikan Melalui Kuliah Online
Oleh Gery Sulaksono, S. Sos
Alumnus Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto
Seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (information and communication
technolgy), telah banyak kampus di luar negeri yang membuka program kuliah online. Baru-baru ini, terobosan pendidikan digital ini juga diikuti oleh dua kampus prestisius, yaitu Harvard University dan Massachusetts Institute of Technology (MIT) yang menawarkan program kuliah online secara gratis. Tercatat, pada pendaftaran kuliah musim pertamanya, ada 154.000 mahasiswa dari 160 negara yang mendaftarkan diri (Voaindonesia.com/06/08/12).
Kuliah tersebut ditujukan kepada siapa saja yang berminat belajar, tapi mempunyai keterbatasan ekonomi, keterbatasan waktu, dan keterbatasan jarak, dan usia. Tidak ada sistem seleksi untuk mengikuti kuliah tersebut, sehingga siapa pun, sepanjang memiliki koneksi internet yang bagus dan mempunyai kemampuan bahasa Inggris yang memadai, dapat belajar pada akademisi dan ilmuwan ternama.
Selain sebagai bentuk penyelarasan terhadap perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, kuliah online dapat dianggap sebagai upaya pemerataan distribusi pendidikan tinggi, yang selama ini memang hanya golongan tertentu saja yang dapat mengaksesnya. Jika kita cermati, hampir setiap orang tentu mencita-citakan dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi, namun terkendala dengan berbagai hal.
Maka, isu pemerataan kesempatan dalam memperoleh pendidikan tinggi ini menjadi penting, karena berhubungan dengan perkembangan mutu kehidupan seseorang. Kuliah online merupakan wujud dari aplikasi teknologi pendidikan yang lahir dari pesatnya perkembangan teknologi. Perkembangan tekonologi tersebut mau tak mau membawa konsekuensi pada perubahan metode dan bentuk pembelajaran. Model kuliah ini digadang-gadang mempunyai beberapa kelebihan, di antaranya menjadi solusi terhadap mahalnya biaya pendidikan, menjangkau segala usia dan wilayah, menghemat biaya operasional, menekan produksi kertas (prolingkungan), mengurangi dominasi dosen (membentuk kemandirian belajar), melibatkan fasilitas audio-visual yang canggih, dan sebagainya. Sementara kelemahannya, ketergantungan pada koneksi internet dan keterbatasan komunikasi menjadi kendala utama dalam proses belajar.
Tak Diakui
Meski menjadi model baru pendidikan dan memberi kemudahan bagi masyarakat, tidak semua negara mengakui model kuliah online tersebut, termasuk Indonesia. Sejauh ini, gelar kesarjanaan yang diperoleh dari online university tidak diakui oleh pemerintah. Kuliah online merupakan bentuk lain dari kuliah jarak jauh (distance learning).
Sejak tahun 2007, praktik distance learning telah dilarang oleh pemerintah, dan dianggap ilegal.
Ini berdasarkan Surat Edaran Direktur Kelembagaan Dirjen Dikti Nomor. 595/D5.1/2007 tanggal 27 Februari 2007 yang menjelaskan bahwa Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi sejak tahun 1997 telah melarang penyelenggaraan pendidikan model kelas jauh dan menetapkan bahwa ijazah yang dikeluarkan tidak sah.
Masih lemahnya regulasi dan pengawasan dikhawatirkan akan menjadi modus bisnis untuk mencetak sarjana secara instan, yang tentu saja mencederai kaidah, norma, hakikat, dan semangat perguruan tinggi.
Saat ini pemerintah masih mempunyai kekhawatiran tersendiri, sehingga masih memberlakukan larangan praktik distance learning. Namun, jika melihat karakteristik wilayah Indonesia yang luas, kecilnya angka penduduk yang melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi, tingginya biaya kuliah konvensional, tingginya kebutuhan tenaga kerja terdidik, perkembangan globalisasi yang menuntut kompetensi, dan semakin luasnya perkembangan internet, setidaknya pemerintah perlu menimbang ulang wacana kuliah online.
Untuk menjajaki wacana tersebut, pemerintah dapat melakukan studi banding ke kampuskampus yang telah mempunyai reputasi dalam penyelenggaraan pendidikan online, seperti Jones International University (pelopor universitas online pertama yang terakreditasi di Amerika Serikat), California University of Pennsylvania Online (universitas online terbaik versi Online College Ranking 2012), University of the People (universitas online afiliasi PBB), dan lain-lain.
Pemerintah dapat mengkaji, regulasi/akreditasi, manajemen, keuangan, pengawasan, model pembelajaran, hingga perangkat lunak (software) perkuliahan. Kekhawatiran terhadap praktik kecurangan ini sebenarnya dapat dilakukan melalui pengaturan regulasi dan pengawasan yang ketat, sedangkan kekhawatiran terhadap ketidakefektifan pola pembelajaran itu perlu dijawab dalam bentuk pilot project di satu atau beberapa kampus di Indonesia.
Kita sadar bahwa kuliah online adalah wacana baru di Indonesia. Perubahan paradigma pendidikan dari konvensional tatap muka dalam kelas menjadi belajar mandiri secara online tidaklah mudah. Hal ini masih memerlukan proses pengedukasian masyarakat secara terusmenerus.
Namun demikian, sudah saatnya pemerintah dan masyarakat membuka diri pada praktik pembelajaran berbasis web tersebut. Setidaknya, ini akan menjadi upaya dan terobosan mengatasi ketimpangan pemerataan akses dan distribusi pendidikan tinggi di Indonesia. (Email: [email protected])
Sumber Artikel: Suara Guru
Tanggal terbit artikel: 13 Oktober 2012